Kamis, 30 Maret 2017

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILTY KAITANNYA DENGAN ETHICS DAN SOCIAL RESPONSIBILTY IMPLEMENTASI DI INDONESIA

Di Indonesia, Corporate Social Responibility (CSR) atau dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan perlahan-lahan telah menjadi bagian yang sangat penting dari dunia usaha. CSR secara pelan tapi pasti tidak hanya dianggap sekedar sumbangan (philanthropy) sebagai formalitas semata, atau Kiss and Run tapi juga sudah menjadi agenda wajib atau rencana strategis perusahaan. Jenis, model dan cakupan CSR perusahaan di Indonesia juga semakin beragam dan dinamis.
Di Indonesia pelaksanaan CSR telah diatur didalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang diatur didalam bab V pasal 74 ayat (1),(2),(3),(4) dimana dalam pasal tersebut mengatur bagaimana tanggung jawab perusahaan dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dengan kata lain perusahaan bertanggung jawab dalam permasalahan sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari pelaksanaan kegiatan perusahaan, adanya undang-undang ini tidak serta merta memaksa perusahaan untuk melaksanakan CSR, karena didalam undang-undang ini tidak memberikan kejelasan terhadap sanksi jika sebuah perusahaan tidak melaksanakan CSR, didalam pasal tersebut hanya menjelaskan bahwa ayat (3) perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun sanksi yang diberikan tidak jelas.
.                 Pelaksanaan CSR diatur juga dalam Undang Undang Penanaman Modal  2007, dalam penjelasannya pasal 15 huruf b disebutkan tanggungjawab sosial perusahaan adalah tanggungjawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Tampak bahwa UUPT 2007 mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan, yang mengarah pada CSR sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
.                 CSR juga diatur dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-5/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, konsep CSR dapat dipahami dalam Pasal 2 bahwa menjadi kewajiban bagi BUMN baik Perum maupun Persero untuk melaksanakannya.
.        Etika  kata Yunani “ethos”,   berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat. Etika adalah  falsafat moral, ilmu yang membahas nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama di atas. Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tatacara hidup yang baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. 
.        Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etik merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindaknya seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat. Rudito dan Famiola (2007) mengemukakan etika bisnis merupakan suatu normatif disiplin dimana standar-standar tertentu sudah ditentukan dalam lingkungan bisnis yang harus diterapkan dalam menjalankan aktivitas bisnis. Standar-standar dalam etika bisnis inilah yang dipakai sebagai standar penilaian apakah aktivitas-aktivitas yang dijalankan oleh perusahaan dinilai sebagai bisnis yang baik atau burak.
.        Beberapa isu-isu utama etika bisnis khususnya di Indonesia yang marak terjadi adalah isu korupsi, pemalsuan atau pembajakan hak cipta, deskriminasi dan perbedaan gender, serta konflik sosial dan masalah lingkungan (Rudito dan Famiola, 2007). Masalah korupsi merupakan permasalahan klasik yang dihadapi bangsa Indonesia dan sulit untuk dihindari dan tidak mudah untuk diberantas karena telah menguasai segala lapisan aspek dalam kehidupan masyarakat, salah satu contohnya adalah setiap hari media menyuguhkan berita-berita tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewa dan kepala daerah di Indonesia. Semua merupakan bentuk isu pelanggaran etika dalam bisnis dunia usaha dalam wujud korupsi.
Sekarang bagaimana hubungannya business ethic (etika bisnis) dengan corporate social responsibility (CSR). Etika bisnis merupakan dasar atau jiwa dari pelaksanaan sebuah unit usaha, Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu dan perusahaan Sementara CSR merupakan manifestasinya, CSR sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperhatikan para karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar serta publik pada umumnya guna meningkatkan kualitas hidup mereka.
Etika bisnis berbicara mengenai nilai. Apakah sebuah perusahaan menganut nilai yang baik atau yang buruk. Kalau memang memegang nilai yang baik dalam berbisnis, maka perusahaan tersebut pasti akan menjalankan CSR yang memang bertanggung jawab. Etika bisnis lebih melekat kepada individu yang menjalankan entitas bisnis. Sedangkan CSR sebagai hasil atau kebijakan dari perusahaan itu sendiri.
Masih banyak yang melihat CSR sebagai sisa-sisa dari keuntungan. Ini terlihat dari banyaknya yang bertanya mengenai berapa dana CSR yang dianggarkan. Seharusnya memang sudah dianggarkan dan menjadikannya built-in di dalam perusahaan dengan menjadikannya sebagai cara bagaimana menjalankan bisnis. Sehingga CSR tidak menjadi cost, melainkan investasi.
Implementasi etika bisnis yang dilakukan secara benar akan memiliki beberapa manfaat. Antara lain : 1) memastikan kalau segenap sumber daya perusahaan dikelola secara bertanggung jawab untuk kepentingan seluruh stakeholder, 2) meningkatkan kinerja perusahaan dengan cara yang berkelanjutan (ustainable), 3) meningkatkan kepercayaan investor terhadap manajemen perusahaan sehingga lebih menarik sebagai target investasi. 4) meningkatkan citra perusahaan di antara stakeholder sebagai good corporate governance, 5) meningkatkan nilai perusahaan.

KONSEP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILTY
Terdapat dua jenis konsep CSR, yaitu dalam pengertian luas dan dalam pengertian sempit. CSR dalam pengertian luas, berkaitan erat dengan tujuan mencapai kegiatan ekonomi berkelanjutan (sustainable economic activity). Keberlanjutan kegiatan ekonomi bukan hanya terkait soal tanggungjawab sosial tetapi juga menyangkut akuntabilitas (accountability) perusahaan terhadap masyarakat dan bangsa serta dunia internasional. CSR dalam pengertian sempit dapat dipahami dari beberapa peraturan dan pendapat ahli berikut (T.Romi Marnelly, 2012):
1.     Menurut (Widjaja & Yeremia, 2008) CSR merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan (tidak hanya Perseroan Terbatas) dengan segala hal (stake-holders) yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan untuk tetap menjamin keeberadaan dan kelangsungan hidup usaha (sustainability) perusahaan tersebut. Pengertian tersebut sama dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu merupakan komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya (Widjaja & Yani, 2006). Menurut UUPT 2007 pengertian CSR dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan tang-gungjawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
2.     UUPM 2007, dalam penjelasannya pasal 15 huruf b disebutkan tanggungjawab sosial perusahaan adalah tanggungjawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Tampak bahwa UUPT 2007 mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan, yang mengarah pada CSR sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
3.     Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-5/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, konsep CSR dapat dipahami dalam Pasal 2 bahwa menjadi ke-wajiban bagi BUMN baik Perum maupun Persero untuk melaksanakannya.
4.     World Business Council for Sustainable Development didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperhatikan para karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar serta public pada umumnya guna meningkatkan kualitas hidup mereka.
5.     Menurut (Kotler & Nance, 2005) mendefinisikannya sebagai komitmen korporasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kebijakan praktik bisnis dan pemberian kontribusi sumber daya korporasi.
Dari pengertian tersebut tampak bahwa CSR merupakan social responsibility dan perusahaan dalam hubungannya dengan pihak internal dan eksternal perusahaan.

DASAR PEMAHAMAN CSR BAGI PERUSAHAAN
Pemahaman tentang CSR pada umumnya berkisar pada tiga hal pokok, yaitu CSR adalah:
1.     Pertama, suatu peran yang sifatnya sukarela (voluntary) dimana suatu perusahaan membantu mengatasi masalah sosial dan lingkungan, oleh karena itu perusahaan memiliki kehendak bebas untuk melakukan atau tidak melakukan peran ini;
2.     Kedua, disamping sebagai institusi profit, perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk kedermawanan (filantropi) yang tujuannya untuk memberdayakan sosial dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi.
3.     Ketiga, CSR sebagai bentuk kewajiban (obligation) perusahaan untuk peduli terhadap dan mengentaskan krisis kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat. 
Pemahaman CSR selanjutnya didasarkan oleh pemikiran bahwa bukan hanya Pemerintah melalui penetapan kebijakan public (public policy), tetapi juga perusahaan harus bertanggungjawab terhadap masalah-masalah sosial. Bisnis didorong untuk mengambil pendekatan pro aktif terhadap pembangunan berkelanjutan. Konsep CSR juga dilandasi oleh argumentasi moral.

MANFAAT CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
Ada banyak manfaat bagi dan keuntungan bagi perusahaan dan manfaat bagi masyarakat, dengan adanya CSR bagi perusahaan berdampak sangat bagu. Karena di dalam CSR ini terdapat model-model CSR seperti :
1.     Pengembangan Ekonomi misalnya kegiatan di bidan pertanian, peternakan,koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
2.     Kesehatan dan Gizi Masyarakat misalnya penyuluhan, pengobatan, pemberian gizi bagi balita, program sanitasi masyarakat dan sebagainya.
3.     Pengelolaan Lingkungan misalnya penanganan limbah, pengelolaan sampah rumah tangga, reklamasi dan penanganan dampak lingkungan lainnya.
4.     Pendidikan, Ketrampilan dan Pelatihan misalnya pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan siswa tidak mampu, magang atau job training, studi banding,peningkatan ketrampilan, pelatihan dan pemberian sarana pendidikan.
5.     Sosial, Budaya, Agama dan Infrastruktur misalnya kegiatan bakti sosial, budayadan keagamaan serta perbaikan infrastruktur di wilayah masyarakat setempat.


Ada empat manfaat CSR terhadap perusahaan (Wikipedia, 2008) :
1.     Brand differentiation. Dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty. The Body Shop dan BP (dengan bendera “Beyond Petroleum”-nya), sering dianggap sebagai memiliki image unik terkait isu lingkungan.
2.     Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interview, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja.
3.     License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas.
4.     Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-resiko bisnis.

PENTINGNYA ETIKA BISNIS
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatanbisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Rukmana (2004) menilai etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Untuk mendapatkan yang lebih baik mengenai makna CSR sebaiknya dikaji terlebih dahulu persoalan etika bisnis, karena pada dasarnya CSR diderivasi dari etika bisnis. Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari ambruknya tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakukan manusia. Situasi itu juga berlaku pada zaman sekarang. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. ( Suseno, 1987)
Nilai-nilai dasar yang menjadi tolak ukur etika bisnis adalah tingkah laku para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari masyarakat konsumen dilakukan melalui persaingan usaha yang fair (jujur), transparant (terbuka), dan ethic (etis). Perbuatan yang termasuk dalam kategori unethical conduct misalnya memberikan informasi yang tidak benar mengenai bahan mentah, karakteristik/ciri dan mutu suatu produk, menyembunyikan harta kekayaan perusahaan yang sebenarnya untuk menghindari atau mengurangi pajak, membayar upah karyawan di bawah UMR, melakukan persekongkolan tender, dan melakukan persaingan tidak sehat.
CSR mewakili kompromi antara etika dan perilaku-perilaku tertentu. CSR muncul untuk meningkatkan image perusahaan di dalam masyarakat di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usahanya. Ide untuk menjadikan kepedualian sosial perusahaan sebagai unsur pemasaran. Perencanaan social harus selalu masuk dalam rencana strategik perusahaan. Kegiatan social tersebut bukan suatu biaya, tetapi merupakan suatu investasi.
Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILTY DI INDONESIA
Implementasi CSR di Indonesia,  belum menjadi perilaku yang umum, masih berupa kegiatan yang ikut-ikutan belum menjadi menjadi sebuah keharusan meskipun sudah ada Undang-Undang nya yang mengatur. Namun dengan derasnya informasi melaui media elektronik dan media sosial, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR semakin besar. Dan pada akhir tahun 2009 telah diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.
Untuk meningkatkan daya saing melalui loyalitas customer, kegiatan CSR akan menjadi strategi bisnis yang sangat bagus bagi perusahaan untuk menjadi daya tarik untuk mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan membeli produk merek yang telah menjalankan kegiatan CSR. menjaga dan meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteri-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang.
Implementasi kebijakan CSR di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh perusahaan pemerintah BUMN dan perusahaan swasta nasional seperti PT. Telkom Indonesia TBK, Pertamina, Perbankan Pemerintah dan swasta, juga perusahaan-perusahaan retail, dan perusahaan lainnya. Kegiatan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Kegiatan CSR perlu publikasi yang tepat sasaran agar bisa mengedukasi masyarakat Indonesia. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win situation) - konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung. Pelaksanaan CSR di Indonesia smasih dipandang sebagai kegiatan sisa keuntungan, dan belum menjadi sebuah kegiatan yang telah dianggarkan secara khusus oleh perusahaan. Kegiatan CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan puncak korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika pimpinan perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar. Sebaliknya, jika orientasi pimpinannya hanya berkiblat pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR hanya sekadar kosmetik.

DAFTAR PUSTAKA
Hapzi Ali, 2017, Modul perkuliahan, Business Ethics & GG : Corporate Social Responsibilty, Universitas Mercubuana

Rabu, 29 Maret 2017

PERANAN BOARD OF DIRECTOR, BOARD COMMITTES, BOARD POWER, BOARD COMPOSITION DAN IMPLEMENTASINYA DALAM IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA

Kendala – Kendala Implementasi Good Corporate Governance di Indonesia
Aktifitas bisnis tidak akan terlepas dari kondisi lngkungan yang melandasi beserta kendala-kendalanya seperti diantaranya kendala sebagai negara berkembang, multi etnis, suku dan budaya, negara kepulauan, dan kendala lainnya. Begitu pula penerapan Good Corporate Governance di Indonesia sudah barang tentu pasti dipengaruhi oleh kendala-kendala tersebut yang secara garis besar akan dikelompokan ke dalam kendala hukum,  kendala budaya, kendala politik, kendala lingkungan bisnis, dan kendala lainnya.

Kendala Hukum
Corporate Governance haruslah menjamin perlakuan yang sama dan perlindungan atas hak-hak semua pemegang saham dari berbagai bentuk penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu. Di Indonesia pemegang saham tertentu dan stakeholder lainnya hanya memiliki sedikit celah untuk melindungi diri mereka dari tindakan penyalahgunaan pemegang saham mayoritas. Dalam sistem hukum kita mekanisme tindakan semacam itu memang ada diatur tetapi karena lemahnya pelaksanaan penegakan hukum dan praktik pengadilan maka efektivitasnya menjadi terbatas, begitu juga dengan sistem kepailitan dan pengadilan memiliki kelamahan telah membuat para kreditur hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap para debitur mereka.

Kendala Budaya
Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa terdapat suatu pandangan bahwa praktik corporate governance itu hanyalah suatu bentuk kepatuhan terhadap peraturan atau ketentuan dan bukannya suatu sistem yang diperlukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kinerja. Hal ini menyebakan Good Corporate Governance tidak sepenuh hati dilaksanakan sehingga efektifitasnya berkurang, begitu juga halnya dengan adanya dan telah membudaya adanya tanggapan bahwa tindakan penyelewengan maupun transaksi dengan orang dalam adalah hal yang biasa dan lumrah dilakukan dan bahkan tindakan korupsi pun dianggap hal yang biasa dan tidak salah. Anggapan seperti jelas bertentangan dengan jiwa GCG, sehingga akan mengganggu dan menghambat berjalannya konsep tersebut. Kondisi ini ditambah lagi dengan lemahnya pengungkapan dan keterbukaan dan tidak efektifnya mekanisme pengungkapan dan kedisplinan di pasar modal. Dalam beberapa kasus dijumpai fenomena bahwa para manajer dan direktur immune terhadap pertanggungjawaban kepada stakeholder.

Kendala Politik
Kendala ini terutama berkaitan dengan perusahaan-perusahaan BUMN, yaitu perusahaan yang dimiliki Negara. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa pengertian Negara selalu menjadi kabur dan diartikan Negara sebagai pemerintah, tetapi ada juga yang mengartikannya sebagai lembaga Negara lainnya. Hal ini ditambah lagi dengan dikaburknnya pengertian pemisahan kepentingan bisnis dan kepentingan pemerintah dan kepentingan lembaga lainnya. Akibatnya berbagai keputusan bisnis di BUMN sangat diintervensi oleh pemerintah bahkan sangat diekploitasi oleh para politisi. Dalam beberapa kasus hal ini terjadi juga pada beberapa perusahaan swasta. Kondisi lain yang mungkin akan menjadi perhatian bahwa peranan lembaga pasar modal sebagai lembaga pengatur masih lemah dalam membela dipengadilan.

Kendala Lingkungan Bisnis
Sebagaimana yang berlaku umum diberbagai Negara di Asia lainnya bahwa perusahaan-perusahaan meskipun berbentuk perseroan terutama dimiliki oleh keluarga. Dengan kondisi ini maka praktik GCG kemungkinan saja melenceng dari yang seharusnya karena berbagai kepentingan keluarga, misalnya dalam hal penunjukan komisris independen. Keadaan ini dalam berbagai kasus masih saja berlangsung meskipun perusahaan-perusahaan tersebut telah menjual sahamnya di pasar modal.

 Kendala Lainnya
Bank-bank di Indonesia telah diakui keberadaanya sebagai lembaga penyedia dana yang dibutuhkan oleh para pelaku bisnis. Sebagai penyedia dana harusnya berperan active dalam mengawasi pengelolaan dana perusahaan termasuk para manajernya dalam penggunaan dana. Dalam berbagai kasus fungsi monitoring ini tidak berjalan dengan efektif bahkan pada beberapa kasus hal ini sudah terjadi sejak proses anlisa proposal yang diajukan.

Kendala – kendala tersebut di atas menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan corporate governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance dengan baik. Hal ini karena adanya sejumlah kendala yang dihadapi tersebut diatas. Kendala diatas ini dapat dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. 
Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan tentang prinsip-prinsip good corporate governance, kurangnya panutan atau teladan yang diberikan oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-prinsip good corporate governance, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal. Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate governance terkait dengan perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-enforcement). Indonesia tidak kekurangan produk hukum. Secara implisit ketentuan-ketentuan mengenai GCG telah ada tersebar dalam UU No. 40 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang dan Peraturan Perbankan, Undang-undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas, seperti Bank Indonesia, Bapepam, Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan pengadilan sangat lemah. Oleh karena itu diperlukan test-case atau kasus preseden untuk membiasakan proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan praktik-praktik pelanggaran hukum perusahaan atau GCG. 
Baik kendala internal maupun kendala eksternal sama-sama penting bagi perusahaan, namun demikian, jika kendala internal bisa dipecahkan maka kendala eksternal akan lebih mudah diatasi. Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. Berdasarkan prosentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham sebesar 5% atau kurang). 
Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat menggunakan sumber daya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai perusahaan. Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari struktur kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal yang efektif, seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab secara adil diantara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan Komisaris, Dewan Direksi, manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan lainnya), dan dampak negatif ini juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai Komisaris Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan (syarat-syarat yang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen). 

KOMISARIS INDEPENDEN
Keberadaan Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih independen, obyektif, dan menempatkan keadilan sebagai prinsip utama yang memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya. Peran Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong diterapkannya prinsip dan praktik corporate governance pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia, termasuk BUMN. Upaya perusahaan untuk menghadirkan sistem pengendalian internal yang efektif tersebut terkait dengan upaya perusahaan untuk mengatasi kendala internalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dampak negatif dari struktur kepemilikan akan hilang jika perusahaan mampu mengatasi permasalahan yang terkait dengan kendala internalnya.
Persoalan independensi juga muncul dalam hal penggajian Dewan Komisaris didasarkan pada persentase gaji Dewan Direksi. Kepemilikan saham yang terpusat dalam satu kelompok atau satu keluarga, dapat menjadi salah satu penyebab lemahnya posisi Dewan Komisaris, karena pengangkatan posisi anggota Dewan Komisaris diberikan sebagai rasa penghargaan semata maupun berdasarkan hubungan keluarga atau kenalan dekat. Di Indonesia, mantan pejabat pemerintahan ataupun yang masih aktif, biasanya diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris suatu perusahaan dengan tujuan agar mempunyai akses ke instansi pemerintah yang bersangkutan. Dalam hal ini integritas dan kemampuan Dewan Komisaris seringkali menjadi kurang penting. Pada gilirannya independensi Dewan Komisaris menjadi sangat diragukan karena hubungan khususnya dengan pemegang saham mayoritas ataupun hubungannya dengan Dewan Direksi ditambah kurangnya integritas serta kemampuan Dewan Komisaris.
Seharusnya ada definisi yang jelas tentang komisaris "ekstern" atau komisaris "independen". Kriteria untuk Outside Directors dalam One Tier System tersebut telah diterjemahkan menjadi kriteria untuk Komisaris Independen. Kriteria tentang Komisaris Independen tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Komisaris Independen bukan merupakan anggota manajemen;
2.   Komisaris Independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau seorang pejabat dari   
    atau dengan cara lain yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan;
3. Komisaris Independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi seperti itu;
4. Komisaris Independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut;
5.  Komisaris Independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut;
6.  Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok selain sebagai komisaris perusahaan tersebut;
7.  Komisaris Independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun atau hubungan lainnya yang dapat, atau secara wajar dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan.

TERMINOLOGI TENTANG INDEPENDENSI
Independensi Profesional adalah suatu bentuk sikap mental yang sulit untuk dapat dikendalikan karena berhubungan dengan integritas seseorang. Melaksanakan "fit and proper test" terhadap kandidat yang akan menduduki jabatan tertentu di perusahaan merupakan salah satu usaha mengetahui independensi profesional. Akan tetapi, integritas independensi seseorang lebih ditentukan oleh apa yang sebenarnya diyakininya dan dilaksanakannya dalam kenyataan (in fact) dan bukan oleh apa yang terlihat (in appearance). Lebih lanjut, dalam menyelenggarakan suatu "fit and proper test", pemberian kesempatan yang sama (equal opportunity) terhadap setiap orang untuk menempati suatu jabatan akan menuju kepada seleksi calon-calon yang lebih memenuhi syarat dan adil.

PERANAN BOARD OF DIRECTORS, BOARD OF COMMITEES, BOARD OF POWER DAN BOARD OF COMPOSITION DALAM IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Sudah disinggung diatas perihal kendala-kendala  dalam penerapan GCG diantaranya karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yangada  dibandingkan  yang  menganggap  prinsip  tersebut  sebagai  bagian  dari  kultur perusahaan, sehingga memang dibutuhkan pendekatan yang mengedepankan pola pikir melakukan GCG sebagai salah satu kebutuhan yang harus dijalani bukanlah sekedar kewajiban yang tertulis dalam visi dan misi. Hal ini menjadi lebih rumit ketika harus menyamakan presepsi mengenai sebuah konsep GCG yang baik ditengah keberagaman suku dan budaya yang ada di Indonesia karena setiap suku dan budaya bisa saja mempunyai presepsi akan hal baik dan buruk yang berbeda.
Indonesia  masih  menganut  menggunakan  pendekatan  yang  lembut meskipun masih terdapat banyak pratik-pratik yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip GCG seperti korupsi, kkn, pungli dan masih banyak contoh lainnya. Di Indonesia untuk mengimplementasikan GCG yang baik diperlukan dorongan hukum untuk membantu merubah kultur masyarakat Indonesia menjadi lebih baik karena diharapkan dengan pemberian hukuman yang didukung  dengan  sistem penilaian kinerja yang adil dapat  menciptakan  efek  jera secara jangka panjang dapat mengubah perilaku.
Dari hal ini menurut saya dengan mengedepankan adanya konsep-konsep pendekatan  komprehensif  yang mencakup  penerapan regulasi, implementasi yang konsisten, serta pemberian sanksi dapat membantu masyarakat Indonesia untuk menerapkan prinsip GCG yang baik di Indonesia.
Peranan Dewan Komisaris dalam Suatu Perusahaan. Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan GCG, Dewan Komisaris - merupakan inti dari Corporate Governance - yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Mengingat manajemen yang bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan - sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi manajemen - maka Dewan Komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. Lebih lanjut tugas-tugas utama Dewan Komisaris meliputi: Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset; Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci, penggajian anggota Dewan Direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota Dewan Direksi yang transparan dan adil; Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota Dewan Direksi dan anggota Dewan Komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan; Memonitor pelaksanaan Governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu; Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.
Hingga saat ini masih ditemui definisi yang bermacam-macam tentang Corporate Governance. Namun demikian umumnya mempunyai maksud dan pengertian yang sama, yaitu: "seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan." Disamping itu juga menjelaskan, bahwa tujuan dari Corporate Governance adalah "untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)." Secara lebih rinci, terminologi Corporate Governance dapat dipergunakan untuk menjelaskan peranan dan perilaku dari Dewan Direksi, Dewan Komisaris, pengurus (pengelola) perusahaan, dan para pemegang saham. Ada empat unsur penting dalam Corporate Covernance, yaitu:
Fairness (Keadilan). Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
Transparency (Transparansi). Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas, dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.
Accountability (Akuntabilitas). Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris (dalam Two Tiers System).
Responsibility (Pertanggungjawaban). Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.
Sebagai gambaran, untuk berhasil di pasar yang bersaing, suatu perusahaan harus mempunyai pengelola perusahaan yang inovatif, yang bersedia untuk mengambil risiko yang wajar, dan yang senantiasa mengembangkan strategi baru untuk mengantisipasi situasi yang berubah-ubah. Hal ini menuntut manajemen sebagai pengurus perusahaan mempunyai ruang gerak untuk bertindak bebas dan didorong untuk bertindak untuk kepentingan investor atau penanam modal.

Board Of Director
Board of directors merupakan badan yang mewakili kepentingan para pemegang saham, dan bertanggung jawab kepada mereka untuk serangkaian tugas tertentu, termasuk mendefinisikan strategi perusahaan dan filosofi perusahaan, pengawasan eksekutif manajemen, dan pelaksanaan pengendalian internal.
Kata board of directors memiliki artian yang berbeda-beda di beberapa negara. Di Negara Amerika Serikat, Kanada dan Inggris menggunakan kata board of directors untuk mewakili Dewan Direksi dan Dewan Komisaris, sedangkan di Negara-negara Asia seperti Jepang, Korea dan Indonesia kata board of directorssetara dengan Dewan Komisaris. Penyebab perbedaan arti tersebut dikarenakan ada Negara yang menggunakan single board system dan dual board system.
Di Indonesia yang menggunakan dual board system sehingga terdapat pembagian divisi dewan menjadi dua bagian yaitu yang pertama Supervisory board (Dewan Komisaris) yang bertindak sebagai agen dari pemegang saham serta memiliki tanggung jawab untuk menunjuk, mengawasi dan member masukan anggota dewan manajemen dan juga mengembangkan strategi perusahaan yang mendasar. Kedua adalah Management board yang bertanggung jawab terhadap menjalankan fungsi harian manajemen bisnis, divisi atau melakukan fungsi control di Indonesia Management board sering juga disebut dengan Dewan Direksi.

Board Committees
Board of committees mulai berkembang sejak beberapa tahun terakhir dan saat ini terus mengalami peningkatan. Terdapat dua jenis umum dari Board of committees , tipe yang pertama adalah Management Support atau Operating Committee yang bertugas untuk memberikan masukan kepada manajemen mengenai keputusan. Tipe yang kedua adalah komite sebagai monitoring yang bertugas untuk melindungi kepentingan pemegang saham dengan menyediakan tujuan, tinjauan independen urusan perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan legalitas, integritas, dan kualitas etis dari kegiatan perusahaan.
Sebagai Board of committees memiliki tanggung jawab komite, antara lain :
1.   Meninjau dan menyetujui strategi dan kebijakan Grup dan pendekatan untuk digunakan dalam Ulasan Kompensasi tahunan Grup remunerasi;
2. Memastikan bahwa dukungan kinerja terkait pengaturan kompensasi strategi bisnis dan memberikan keseimbangan menantang yang sesuai antara risiko dan imbalan;
3.    Mempertimbangkan undang-undang, peraturan, pedoman dan rekomendasi yang berkaitan dengan remunerasi dan tata kelola perusahaan;
4.    Pemantauan tingkat dan struktur remunerasi untuk manajemen senior, termasuk kinerja individu terhadap tujuan dan merekomendasikan remunerasi masing-masing anggota Dewan eksekutif, dan
5.   Menyediakan laporan tahunan kepada Dewan dan pemegang saham dari kebijakan remunerasi Perseroan.

 Board Composition dan Board Power
Board composition dapat dibagi dalam tiga kategori, antara lain:  Insider DirectorAffiliated outside director, dan Independent outside director Board compositiondapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan perusahaan dan biasanya menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan board independence dan keragaman (perusahaan dan pengalaman industri, latar belakang fungsional, dll) dari board members. Board independence mengacu pada dewan perusahaan yang memiliki mayoritas outside directors independen. Dibandingkan dengan papan insider-didominasi, papan luar yang didominasi diyakini morevigilant dalam memantau perilaku manajerial dan pengambilan keputusan perusahaan. Sebuah papan yang terdiri dari direksi dengan beragam rangkaian keahlian fungsional (marketing, teknik, keuangan, dll) industry experiences, kualifikasi pendidikan, etnis dan jenis kelamin campuran mungkin lebih siap untuk menghadapi berbagai masalah yang dihadapi perusahaan dan memberikan para eksekutif dengan saran dan konsultasi dari berbagai perspektif.
Board power memiliki wewenang untuk memilih dan mengatur keadaan sebuah board  didalam perusahaan, selain itu Board power memiliki tanggung jawab penuh atas pengurusan dan hal-hal terkait kepentingan perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan.

Implementasinya Dalam Kontek Good Corporate Governance Di Indonesia
Tentu dengan adanya pembagian-pembagian seperti Board of Director, Board Committes, Board Power dan Board Composition akan sangat berpengaruh bagi penerapan GCG di perusahaan maupun di Indonesia, hal ini dikarenakan dengan sistem kerja yang baik tentu akan lebih mudah untuk melakukan pengaturan dan pengawasan.
Sistem pembagian struktur yang baik akan membantu dalam mewujudkan perusahaan yang jujur dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Dengan adanya pembagian ini juga akan membantu mengurangi praktekwhite collar crime  yang hingga saat ini masih menjadi musuh bersama dan tentu hal ini sangat bertentangan dengan prinsip GCG. Manfaat lain dari penerapan sistem ini adalah dengan sistem kepengurusan yang baik akan meningkatkan produktivitas perusahaan dan tentu hal ini dapat menarik modal investor dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan kepercayaan investor dan kreditur domestik maupun internasional.
Di Indonesia walaupun masing-masing jenis perusahaan memiliki Board of Director, Board Committes, Board Power dan Board Composition yang berbeda-beda tetapi menurut saya di Indonesia yang terpenting adalah kejujuran dari setiap anggota board karena sistem kepengurusan yang baik tidak akan memberi dampak yang baik jika tidak ada kejujuran dari setiap anggota. Sistem kepengurusan di Indonesia saat ini masih ada yang belum menerapkan kejujuran di masing-masing board sehingga banyak kasus perusahaan yang melibatkan anggota board , keadaan seperti ini harus segera diperbaiki agar dapat mewujudkan perusahaan yang berkembang dengan menerapkan prinsip GCG yaitu Transparansi, Kemandirian, Akuntabilitas, Pertanggung Jawaban, Kewajaran dan Kesetaraan.


DAFTAR PUSTAKA

https://atyantahenggar.wordpress.com/2017/03/29/good-corporate-governance-di-indonesia-serta-perbedaan-board-of-director-board-committes-board-power-board-composition-dan-implementasinya/
Dilek Demirbas, 2011. Independence of board of directors, employee relation and harmonisation of corporate governance. Employee Relation Journal. Vol. 33, No. 4: 444-471
Harrison, 1987. The Strategic Use Of  Corporate Board Committees. California Management Review. Vol. 30, No. 1: 109-125
https://muhariefeffendi.files.wordpress.com/2009/12/fcgi_booklet_ii.pdf, 29 Maret 2017, 21.00